Praktisi ISO Management System and Compliance
Jejak Politik Instan: Fenomena Caleg Selebritas di Pemilu 2024
13 jam lalu
Dari sinetron ke parlemen. Dari TikTok ke gedung DPR.
***
Budi, seorang guru honorer di Banyuwangi, telah mengabdi selama 15 tahun. Ia aktif di forum pendidikan, menyusun kurikulum lokal, dan pernah mewakili provinsi dalam lomba inovasi pembelajaran. Tapi ketika mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari partai kecil, suaranya tak sampai 2% di daerah pemilihannya.
Di tempat lain, Rara, artis sinetron yang namanya sempat tenggelam sejak 2018, tiba-tiba muncul sebagai salah satu caleg terpilih dengan suara fantastis: lebih dari 100 ribu suara. Padahal, rekam jejak kebijakannya nyaris kosong. Kampanyenya? Hanya unggahan di Instagram dan penampilan di acara dangdut.
Ini bukan anomali. Ini adalah fenomena politik instan yang semakin mengakar di Indonesia: selebritas yang melompat dari dunia hiburan langsung ke kursi parlemen, tanpa proses panjang atau kontribusi nyata di ranah publik.
Data yang Mencengangkan: Gelombang Artis di Senayan
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pantauan Lembaga Kajian Politik Nusantara (LKPN), jumlah selebritas yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR pada Pemilu 2024 mencapai 167 orang — naik 38% dibanding 2019.
Yang lebih mencengangkan: 42 di antaranya berhasil terpilih, termasuk nama-nama dari dunia musik, film, olahraga, hingga konten kreator media sosial. Beberapa di antaranya bahkan belum pernah terlibat dalam organisasi kemasyarakatan atau aktivisme politik.
“Saya percaya rakyat butuh wajah yang mereka kenal. Saya sudah 20 tahun di TV, jadi saya tahu apa yang dibutuhkan rakyat,” ujar seorang caleg mantan presenter anak-anak saat debat publik.
Pernyataan itu menjadi cermin dari logika baru dalam politik: popularitas mengalahkan kapabilitas, ketenaran mengungguli pengalaman.
Pragmatisme Partai: Rekrut Selebritas demi Elektabilitas
Lalu, mengapa partai politik begitu terbuka merekrut selebritas?
Jawabannya sederhana: elektabilitas.
Sebuah survei Indikator Politik Indonesia (September 2023) menunjukkan bahwa figur publik memiliki tingkat awareness (kesadaran publik) rata-rata 78%, jauh di atas tokoh akar rumput (23%) atau aktivis (31%).
Partai-partai, terutama yang sedang berjuang melewati parliamentary threshold, melihat selebritas sebagai “jalan pintas” untuk menarik suara. Mereka tidak perlu membangun basis dari bawah; cukup andalkan followers, viral challenge, dan dukungan fanbase.
Akibatnya, daftar caleg banyak partai kini dipenuhi nama-nama seperti mantan vokalis band, juara dance competition, atau pasangan influencer yang dulu tenar karena konten pernikahan mewah.
Isu Hangat: Ketika Konten Medsos Mengalahkan Program Kerja
Salah satu isu paling ramai diperbincangkan pasca-Pemilu 2024 adalah kualitas legislasi yang dihasilkan oleh anggota dewan baru. Banyak UU penting tersendat, rapat kerap diwarnai absensi, dan beberapa caleg terpilih kedapatan tidak paham tata cara persidangan.
Di media sosial, video seorang anggota dewan baru yang bertanya, “Apa itu APBN?” menjadi viral dan ditertawakan netizen. Ironisnya, ia adalah seorang artis yang mendapat suara tertinggi di dapilnya.
Ini memicu diskusi nasional: Apakah parlemen harus menjadi panggung hiburan? Haruskah kursi pengambil kebijakan diisi oleh orang yang lebih ahli dalam membuat reels daripada membuat regulasi?
Narasi Emosional: Rakyat Butuh Perwakilan, Bukan Influencer
Di sebuah desa di Sumatera Barat, sekelompok petani mengadakan pertemuan bulanan. Mereka ingin menyampaikan aspirasi soal pupuk langka kepada wakil rakyat. Tapi sang anggota dewan terpilih — mantan penyanyi dangdut — hanya datang untuk foto bersama, lalu langsung pergi syuting iklan.
“Kami tidak butuh artis. Kami butuh orang yang mau duduk bareng kami, dengar keluhan kami, dan bawa masalah ini ke Jakarta,” kata Pak Marto, ketua kelompok tani.
Ini adalah inti dari krisis representasi. Rakyat butuh perwakilan, bukan figur hiasan. Mereka butuh orang yang paham ekonomi mikro, hukum agraria, dan kebijakan subsidi — bukan sekadar senyum manis dan pose khas di podium.
Apa Solusinya?
Perubahan tidak bisa dimulai hanya dari pemilih. Sistem juga harus diperbaiki:
- Pengetatan syarat pencalonan: Partai harus wajib menyertakan portofolio publik dan rekam jejak sosial bagi setiap caleg.
- Pelatihan legislasi wajib bagi caleg terpilih sebelum dilantik.
- Transparansi asal-usul dana kampanye, karena banyak caleg selebritas diduga didanai oleh oligarki melalui endorsemen terselubung.
- Edukasi politik untuk pemilih muda, agar tidak hanya memilih karena fandom atau konten lucu.
Penutup: Popularitas Bukan Pengganti Kepedulian
Tidak ada larangan bagi selebritas untuk terjun ke politik. Justru, jika mereka punya komitmen dan kapasitas, mereka bisa menjadi agen perubahan — seperti yang pernah ditunjukkan oleh beberapa tokoh publik yang serius belajar kebijakan.
Tapi politik bukan ajang pencarian eksistensi. Parlemen bukan studio televisi. Dan rakyat Indonesia layak mendapatkan wakil yang hadir bukan karena viral, tapi karena peduli.
Ketika kita memilih anggota dewan, kita tidak sedang memilih siapa yang paling sering muncul di FYP. Kita sedang memilih siapa yang akan mengatur masa depan bangsa.
Dan itu, tidak boleh diserahkan pada politik instan.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut
Artikel Terpopuler